Sampah Juga Butuh Penampungan

9:49 PM

Peresensi : Sri Mulyawati (Mahasiswi Jurnalistik, FDIKOM, UIN Jakarta)

Judul               : Tuhan, kenapa salat itu mahal ya ?
Penulis            : A. Zakky Zulhazmi
                          Nasihin Aziz Raharjo
Cetakan           : Pertama (1) Maret 2014
Tebal               : 192 halaman
No. ISBN        : 979-572-174-6
Penerbit          : Yayasan Nanda Dian Nusantara (YNDN)

Untuk mengatasi ‘masalah yang spesial’, ‘caranya pun harus spesial’. itulah yang dilakukan Roostien sebagai pekerja sosial yang memanusiakan manusia dengan merangkul ‘sampah’ yang dianggap kotor oleh masyarakat. Dalam menanganinya pun Roostien hanya memakai 10 persen logika, selebihnya hati.
‘sampah’ yang dikenal kotor, jorok, dekil, berandalan dan susah diatur, itulah penilaian banyak orang terhadap anak jalanan yang selalu diganggap kotoran oleh orang-orang yang merasa dirinya suci. Berbeda dengan Roostien yang ‘seorang gedongan’ yang justru mengangkat mereka dengan ‘sentuhan’. Itulah sosok Roostien Ilyas yang disebut sebagai ibunya gelandangan.
Buku ini menceritakan sosok Roostien yang sejak kecil hidup dalam keluarga ‘borju’ yang bersebrangan dengan pekerjaannya. Sesuai dengan judul buku ini, Roostien yang bertemu dengan pekerja sektor informal atau akrab disebut anak jalanan yang selalu dipersulit jika hendak beribadah ditempat suci seperti masjid. Irosisnya bagi Negara yang berketuhanan yang maha Esa.
Semua itu menjadi alasan wajar jika anak jalanan menjadi malas untuk beribadah, sampai terlintas dibenak mereka untuk pindah agama. Bayangkan saja, mereka harus membayar jika ingin bersuci, itu pun kalau ada mesjid yang mau menerima. Ketimbang harus membayar untuk itu, mereka lebih memilih untuk dibelikan makanan. Pantas saja mereka menanyakan hal seperti apa yang menjadi judul buku ‘Tuhan, kenapa salat itu mahal ya?
Tak hanya anak jalanan, buku ini juga menceritakan Roostien yang bersentuhan dengan ‘sampah’ lainnya yaitu pelacur. Rostien beranalogi bahwa ‘sampah’ juga butuh ‘tempat sampah’. Dalam buku ini digambarkan betapa kesalnya Roostien terhadap pemerintah karena menutup lokalisasi yang menjadi tempat menyambung hidup para pelacur tanpa adanya solusi. Bukannya Roostien melegalkan aktivitas pelacuran tapi para pelacur itu tidak tahu lagi dengan apa mereka harus menyambung hidupnya.
Roostien berpikir bahwa, daripada membiarkan ‘sampah’ berserakan lebih baik ada tempat penampungan yang layak sebelum pemerintah mampu memberikan mereka lapangan kerja. Sungguh pemikiran yang visioner yang tak pernah terpikirkan oleh presiden sekalipun. Itulah Roostien, berkiprah sebagai seorang muslimah yang kontekstual.
Mengambil latar kisah hidupnya, dua penulis muda ini, A. Zakky Zulhazmi dan Aziz Raharjo mengkisahkan perjuangan aktivis sosial dan para ‘sampah’ yang menurut penulis sangat layak untuk diangakat kepada publik. Penulis adalah para organisatoris yang mempunyai jiwa sastra dan orang yang juga bersama Roostien turun menjadi aktivis sosial. Penerbitpun adalah yayasan yang bergelut dalam dunia anak jalanan yang didirikan oleh Roostien sejak tahun 1990.
Buku ini secara struktur menggunakan alur maju, kisah Roostien sejak ia kecil hingga bertemu dengan pelacur dan anak jalanan. Sayangnya, buku ini hanya menceritakan sepenggal kehidupan Roostien dan ‘sampah’, seandainya buku ini fokus pada kisah para ‘sampah’ yang seringkali mendapat diskriminasi sosial alangkah lebih menariknya untuk selami.
Secara isi, buku ini tidak hanya mengisahkan perjuangan Rootien yang bekerja untuk manusia yang dianggap ‘sampah’, namun kisah-kisah itu diperkuat dengan landasan Ayat-ayat Al-qur’an yang berkaitan. Bahasa yang digunakan pun bahasa yang ringan dibaca, akan tetapi ada beberapa kata yang menggunakan bahasa jawa yang tidak diberikan penjelasan dan itu membuat peresensi sendiri kesulitan dalam memahaminya (mengingat peresensi yang berlatar belakang sunda).
Menghadirkan kesan sederhana begitulah buku ini disajikan. Secara teknis, semua halaman tersusun rapih, bab perbab pun memiliki keterkaitan. Sayangnya, pada penulisan judul buku menggunakan tanda baca Tanya (?) yang seharusnya dalam kaidah penulisan judul, tanda baca tidak boleh digunakan.
Terakhir, peresensi merekomendasikan untuk membaca buku ini. Karena banyak pengalaman berharga dan nilai kehidupan yang dapat diambil sebagai contoh peduli terhadap sesama, melihat banyaknya pecundang yang memperkaya diri sendiri dengan menjual harga diri Bangsa. “Sungguh perjuangan yang paling berat, mencintai negeri yang bangsanya telah kehilangan jati dirinya”, Slamet Rahardjo, Budayawan.

Keterangan : *Buku ini sebelumnya sudah pernah diresensi oleh Aditia Purnomo (Mahasiswa FDIKOM, UIN Jakarta) dengan judul resensi "ketika Manusia Dianggap Sampah"




                     












You Might Also Like

0 komentar

0