ADU MERIAM KARBIT: TRADISI TURUN TEMURUN MASYARAKAT JONGGOL

9:48 PM

     Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan keindahan alamnya. Tak hanya itu, indonesia dengan ratusan suku, memiliki tradisi dan budaya yang begitu beragam. Tradisi tersebut diwariskan oleh para leluhur dan masih tetap dilestarikan hingga saat ini. Berada tak jauh dari ibu kota negara, kabupaten Bogor tepatnya di kecamatan Jonggol, memiliki tradisi yang unik dalam merayakan kemenangan pasca hari raya Idul Fitri.

     Seluruh daerah di indonesia merayakan hari raya Idul Fitri dengan cara yang berbeda-beda, misalnya di Rembang Jawa Tengah ada Kupatan Kendeng, di Yogykarta ada Grebeg syawal, dan Perang Topat di Lombok. Jika biasanya perayaan identik dengan makanan dan kesenian, masyarakat Jonggol merayakan hari kemenangan dengan ‘berperang’. Lengkap dengan meriam dan karbit sebagai bahan peledaknya, pesta rakyat ini begitu menyita banyak perhatian publik.

aksi para petugas yang menyalakan meriam secara serentak
     Berbeda dengan tradisi meriam karbit di Pontianak, yang menyalakan meriam karbit pada saat malam takbiran di sepanjang tepian sungai kapuas. Di jonggol, tradisi meriam karbit akrab disebut dengan Ngadu Bedug/Kuluwung atau Ngadu Karbit yang artinya beradu atau bertanding meriam karbit, digelar beberapa hari pasca lebaran. Ada dua kubu yang bertarung saling berhadapan di ladang sawah yang dipisahkan oleh sungai Cipamingkis.

     Tahun ini yang berkesempatan beradu adalah desa Sukasirna dibantu desa Jonggol vs desa Balekambang dan desa Bendungan. Sebelum pertempuran dimulai, ada kesepakatan hitam di atas putih antara ketua panitia dari masing-masing kubu yang bertarung. Kesepakatan itu berisi, batas wilayah, jam istirahat, jam dimulai dan jam berakhirnya pertempuran. Tak ada hukuman bagi yang melanggar, namun biasanya jika ada yang melanggar akan mengundang keributan. Oleh karenanya disetiap kubu yang bertarung ada pengawasan dari aparat setempat. Kegiatan ini pun sudah ada ijin tertulis dari pihak kecamatan Jonggol dan polsek Jonggol.

     Radis, koordinator lapangan dari Jatinunggal memaparkan, bahwa untuk persiapan pesta rakyat ini memakan waktu kurang lebih satu bulan. Acara ini tidak dapat diprediksi kapan akan diadakan kembali, semua terjadi spontanitas saja.

“Kegiatan ini sudah ada dari leluhur kami, jika leluhur kami menghendaki maka masyarakan akan tergerak untuk mengadakan kegiatan ini. Tapi jika leluhur kami tidak mengijinkan maka tidak akan terjadi sekalipun persiapan sudah 50% jalan. Misalnya tahun kemarin, dari desa sebelah persiapan mereka sudah 50%, tapi dari pihak kami tidak ada bergerak, maka tidak terlaksana,” kata lelaki separuh baya itu.

semua bersiap membakar meriam setelah aba-aba di berikan oleh koordinator lapangan.
     Perang meriam karbit tahun ini, dari desa Sukasirna menghabiskan satu ton satu kwintal karbit sebagai amunisi meriam. Perkilo karbit di seharga 25.000 rupiah, kurang lebih total untuk biaya karbit menghabiskan kurang lebih 27,5 juta. Jika dihitung dengan harga kuluwung dan ribuan petasan total pengeluaran ditaksir mencapai 90 juta. Kuluwung didapat dari sekitar kampung, jika masih kurang barulah mencarinya keluar kampung.

     Kuluwung yang digunakan sebagai meriam bervariasi ukurannya, mulai dari yang ukuran kecil, sedang, hingga ukuran yang besar. Variasi ukuran ini untuk membedakan suara meriam. Jika semua dipukul rata ukurannya maka suaranya pun akan datar. Maka dari itu, agar ada unsur seni, dibuatlah meriam dengan berbagai ukuran. Untuk membakar karbitpun ada cara tertentu agar tidak terdengar monoton, misalnya dari delapan belas meriam, sepuluh meriam kecil di nyalakan bergantian berturut-turut, setelah itu barulah delapan meriam besar dibakar bersamaan. Untuk membuat kuluwung yang terbuat dari batang pohon juga memerlukan seni. Bagaimana batang pohon bisa mengeluarkan suara sebesar mungkin, senyaring mungkin sesuai ukurannya.

koordinator lapangan tengah meberikan aba-aba untuk menyalakan meriam
     Secara ekonomi, warga sekitar berpenghasilan menengah kebawah dengan mayoritas adalah petani dan buruh pabrik. Namun, Radis kembali menuturkan bahwa dana yang diperoleh adalah hasil dari menabung selama sebulan masyarakat desa. Ada juga beberapa sumbangan dari pejabat desa maupun tokoh masyarakat. Setelah kegiatan selesai baru hitung menghitung, ada untung atau ada hutangkah. Jika sampai kegiatan ini memiliki kekurangan atau ada berhutang, maka akan ditutupi dengan uang parkir yang terkumpul atau dengan panen padi setelah ini.

     Pesta rakyat yang maha besar ini tentu membutuhkan tenaga yang cukup banyak. Tak heran, panitia yang bertugas bisa mencapai satu kampung. Untuk bagian membakar karbit masing-masing satu buah kuluwung, jika ada delapan belas kuluwung maka ada delapan belas yang bertugas menjaga karbit, ditambah dengan petugas yang memasukan karbit pun masing-masing satu. Anak muda bagian menyalakan petasan yang amat sangat banyak. Kemudian bagian yang memecah belah karbit bisa lima orang. Untuk sesepuh, memiliki peran tersendiri yaitu berada di benteng paling depan menjaga jika ada hal-hal yang tak diinginkan terjadi. Belum lagi yang menginap untuk menjaga meriam, dan masih banyak lagi orang-orang dibalik terlaksana pesta rakyat yang maha besar ini.

lautan manusia berkumpul dari dua kubu yang dipisahkan oleh sungai cipamingkis

    Tak ada istilah menang kalah dalam perang ini. Tapi biasanya kubu yang lebih cepat habis amunisinya dialah yang kalah. Atau ketika suara letusan dari meriam bunyinya melempem, sontak warga yang berkumpul menyoraki. Disitulah salah satu letak keseruan dalam perang meriam karbit ini. Biasanya puncak acara ada pada hari kedua perayaan. Semua petasan dan karbit dibakar habis. Ladang sawah begitu berasap, musuh diseberang nampak tak terlihat. Jarak pandang pun terbatas, hanya bunyi petasan dan kilauan kembang api yang terlihat.

     Saat menunjukan waktu magrib, semua berakhir. Penonton beranjak pulang kerumah masing-masing dengan perasaan bahagia. Dikutip dari Liputan6 SCTV, Camat Jonggol, Beben Suhendar mengatakan bahwa pesta rakyat ini sebagai sarana untuk ajang silaturahim sekaligus hiburan pasca lebaran masyarakat Jonggol dan sekitarnya.

    Tidak ada yang tahu pasti kapan tradisi ini dimulai, yang jelas ini sudah turun temurun dari nenek moyang sejak dulu. Tradisi ini seperti sudah mendarah daging, warga Jonggol amat menyukainya. Bagi mereka tak ada masalah habis biaya berapa, yang penting masyarakat senang dan terhibur. Pesta rakyat itu padat dijejali lautan manusia yang bukan hanya warga Jonggol tapi juga dari daerah lain seperti dari bekasi bahkan hingga dari jakarta. Lagipula kegiatan ini jarang-jarang terjadi dan tidak dapat diprediksi kapan akan ada lagi.
suasana saat meriam karbit dinyalakan.

petugas yang sedang menghancurkan karbit.
menunggu aba-aba untuk memasukan karbit kedalam meriam.


suasana akhir saat semua petasan bakar habis
Text & Photo by Sri Mulyawati

You Might Also Like

2 komentar

0