Lebaran menjadi momentum yang ditunggu seluruh umat muslim yang sebelumnya sudah menjalankan ibadah puasa ramadan. Tak hanya orang dewasa, anak-anak pun menyambut dengan suka cita hari dimana melimpah ruah ketupat, opor ayam, rendang, kue nastar beserta teman-temannya, dan tentunya angpau hari raya. Beragam tradisi lebaran di tanah air yang sudah turun temurun dilakukan hingga saat ini. Dari sekian banyak tradisi, ada ritual nyekar atau ziarah kubur yang dilakukan pada saat hari raya. 

     Tulisan ini tidak akan membahas asal muasal tradisi ziarah kubur yang dilakukan di nusantara. Hal tersebut sudah cukup jelas disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Agama Republik Indonesia, Nur Syam, di laman pribadinya nursyam.uinsby.ac.id yang menuliskan bahwa tradisi ziarah kubur di masyarakat muslim Indonesia sebenarnya telah berlangsung ketika Islam mulai berkembang di Nusantara.

      Sekilas tak ada yang aneh dengan ritual nyekar atau ziarah kubur yang dilakukan saat hari raya. Hal wajar tentunya jika kita mendoakan keluarga atau sanak saudara yang terlebih dahulu meninggalkan kita, kerena kelak kita pun akan menyusulnya meninggalkan dunia ini. Namun seiring dengan ramainya generasi milenial hari ini, seberapa antusiaskah mereka untuk mengenal jauh silsilah keluarganya dan leluhurnya ?

     Saya sendiri rutin mengikuti keluarga besar untuk melakukan ziarah kubur yang dilakukan saat hari raya ke makam buyut (ibu/bapak dari nenek/kakek). Saya dan saudara segenerasi lainnya hanya ikut dan mengamini doa-doa yang dipanjatkan oleh salah satu anggota keluarga. Kami hanya sebatas tahu bahwa itu adalah makam ibu/bapak dari kakek/nenek. Entah bagaimana dengan kalian, apakah merasakan hal yang sama atau ada cerita berbeda.

    Semua menjadi rumit saat salah satu sanak saudara yang cukup senior meceritakan siapa saja orang-orang yang ternyata memiliki hubungan keluarga dengan keluarga besar kami. Bagi generasi ketiga yang mayoritas adalah generasi milenial mungkin tidak tahu siapa saja mereka. Siapa saja saudara dari keluarga ibu dari nenek/kakek, saudara dari keluarga bapak dari nenek/kakek, anak-anak dari saudara ibu/bapak dari nenek/kakek, belum lagi ada yang bercerai atau menikah lebih dari satu kali, dan hingga generasi sekarang.

      Seperti ada yang hilang dari rangkaian garis keturunan yang diturunkan kepada generasi ketiga, atau mungkin terlupakan. Bayangkan saja, jika tidak pernah mendengar cerita mengenai siapa saja saudara yang saat ini dari garis keturuanan buyut. Tetangga yang jaraknya tidak cukup jauh saya kira hanya tetangga biasa, ternyata ada hubungan keluarga yang tidak terlalu jauh dan baru disadari belum lama ini. Malah ada juga beberapa saudara yang bahkan saya tidak tahu siapa nama-namanya, karena tidak pernah bertegur sapa. Mungkin akan cukup ribet untuk menghafal semua, tapi setidaknya perlu tahu.

     Entah generasi sebelumnya yang kurang menceritakan dan mengenalkan atau kami dari generasi ketiga para milenial yang terlalu cuek dan terlalu sibuk dengan modernitas kehidupan. Tradisi silaturahim  atau silaturahmi yang mulai meredup hari ini amat terasa. Di desa-desa yang masih tradisional memang masih terjaga tradisi silaturahmi tapi tak bisa dipungkiri secara kualitas sudah mulai terkikis. tidak lagi hangat, tulus dan penuh emosional. Apalagi di kota-kota besar yang notabene kehidupannya lebih individual. Beruntungnya di Indonesia masih ada tradisi mudik meski hanya setahun sekali, tapi setidaknya ada momentum untuk menjalin hubungan keluarga atau kekerabatan.

     Menjadi penting bagi generasi milenial untuk lebih sering bercengkrama dengan para orang tua atau sesepuh. Entah sekadar basa-basi atau hanya bersenda gurau, sedikit banyaknya ada nilai yang tetap terjalin di sana. Kenapa tidak sesuatu yang baik tetap dijalankan turun temurun, kita tidak tahu kedepannya nanti akan seperti apa kehidupan yang kita jalani.